"Belum tentu semua orang menghargai semua hal yang sudah dimiliknya, sebelum satu-persatu hal-hal tersebut pergi meninggalkannya"
Semua kisah yang akan diceritakan disini adalah kisah nyata yang terjadi di sekitarku atau bisa jadi di sekitar teman-teman juga. Akan tetapi, disini aku mengajak para pembaca untuk bijak menanggapi segalanya, karena dengan kebijakanlah kita bisa mengambil hikmah.
Kisah pertama:
Dari seorang adik yang bila diceritakan kisahnya insya allah bisa menggugah hati kita semua. Ini hanya kisah sekilas, tidak bisa diceritakan secara lengkap karena termasuk hal yang privasi. Bagaimana kita bisa membayangkan sebuah keluarga, yang di dalamnya terdapat ayah, ibu dan anak, tapi berbeda keyakinan? Mungkin sudah biasa, tapi yang ini bisa dikatakan luar biasa, kenapa? Karena ternyata yang berbeda keyakinan adalah orang tuanya. Si adik seorang muslim sedangkan kedua orang tuanya nonmuslim. Bagaimana bisa? Mungkin teman-teman sudah mulai bertanya. Nenek dari si adik seorang muslim dan pesan terakhir sang nenek adalah agar si adik tetap menjaga imannya. Dan memang itulah yang dilaksanakan adik ini, dia sangat semangat menimba ilmu agama, sehingga tidak cukup satu kelompok mentoring yang ia ikuti tapi setiap ada mentoring dia selalu ingin ikut. Subhanallah..
Kisah kedua:
Seorang ibu penjual makanan yang sangat disayangi oleh para mahasiswa bercerita bahwa dia mengalami perenggangan jahitan sesar karena terlalu lelah bekerja dan akibatnya saat itu dia pingsan. Alhamdulillah ada mahasiswa yang mau menggotong beliau ke dalam rumah. Sang ibu juga melayani katering mahasiswa karena memang beliau tinggal di daerah kos-kosan mahasiswa, sehingga saat si ibu sakit, otomatis kateringan mahasiswa jadi terbengkalai, si bapak juga harus merawat si ibu. hingga keesokan harinya para mahasiswa yang prihatin atas musibah yang dialami si ibu datang untuk menjenguknya. Tentu saja si ibu merasa terharu. Dia bercerita anaknya ada empat, nah yang sesar itu adalah anak yang terakhir dan ternyata biayanya juga sangat besar. Saat si ibu dibawa ke rumah sakit ada seorang mahasiswa yang sudah lulus dan sudah bekerja yang membantu ibu membayar DP operasinya. "Alhamdulillah ya nak, padahal ibu gak ada minta-minta tapi mahasiswa-mahasiswa malah datang membantu, ibu cuma bisa membalas dengan doa" ujar si ibu. Setelah itu si ibu bercerita, suaminya yang sangat sayang kepadanya sejak dari menikah dulu hingga sekarang sudah punya anak empat, tidak ada yang beranggapan negatif kepadanya. Subhanallah..Inilah kisah ibu penjual makanan yang sudah dianggap ibu sendiri oleh beberapa mahasiswa.
Kisah ketiga:
Adik ini masih berumur sekitar lima tahun atau empat tahun, tubuhnya kurus, putih dan memiliki bibir yang kecil. Aku mengenalnya saat mengajar TPA di masjid dekat kosan. Anaknya baik, sopan dan pintar. Sudah menjadi kebiasaan kalau sudah mengaji kepada gurunya di TPA, adik-adik TPA ini kemudian bermain bersama teman-temannya yang lain dan jajan juga tidak ketinggalan. Namun berbeda dengan adik yang satu ini, setelah dia membaca iqro'nya dia tetap menunggu di dalam kelas tanpa beranjak bermain ataupun jajan. Aku mengira pasti adik ini tidak terlalu senang bermain. Sampai aku sering bertanya kepadanya mengapa tidak ikut bermain. "Capek" katanya. Aku hanya tersenyum melihatnya. Setelah beberapa lama aku tidak lagi mengajarinya karena aku menemani guru TPA yang lain yang mengurus adik-adik playgroup. Lalu saat itu, pada dua hari terakhir aku ujian akhir semester di kampus, saat subuh terdengar pengumuman, tapi karena suaranya sama-samar, akupun tidak mendengarnya secara jelas. Akhirnya aku mengira bahwa ada yang meninggal. Sepulang dari kampus akupun melihat rombongan pelayat yang mungkin habis dari menguburkan seseorang. Terlihat pula seorang wanita memakai mukena yang sedang menangis.Pasti itu keluarga yang ditinggalkan, pikirku.
Setelah lama tidak datang ke TPA karena ujian akhirnya pada hari itu aku kesana dan mendapatkan kabar yang mengejutkan bahwa ada adik TPA yang meninggal dunia. Innalillahi wa innailaihi raji'un. Aku bertanya siapa yang meninggal, tapi saat itu aku tidak mengira aku pernah mengenalnya, hingga dua hari sesudahnya aku baru mengetahui bahwa yang meninggal adalah adik yang pendiam dan pintar itu. Hati ini sempat terpukul mendengarnya, apalagi saat aku tau si adik meninggal karena kanker otak yang dideritanya. Sungguh ajal seseoarang tidak ada yang tau kecuali Dia.
Kisah keempat:
Pada malam itu, aku bersama teman-temanku pergi ke suatu tempat untuk makan karena ada traktiran dari salah seorang teman yang berulang tahun. Di saat sedang asyik-asyiknya bercanda, terlihat seorang adik yang tampak kelelahan dan menangis di sudut malam yang sepi. Adik ini seorang penjual gilingan, biasanya untuk menggiling bumbu ataupun cabe untuk sambal. Pastinya berat apalagi untuk adik ini yang mungkin usianya antara delapan sampai sepuluh tahun. Terlihat kesedihan di wajahnya, mungkin dagangannya belum laku seharian. Aku pernah melihatnya juga di suatu tempat yang lain. Tidak seharusnya dia sedih seperti itu, apakah dia masih sekolah? dimanakah rumahnya? Pertanyaan itu yang selalu berkeliling-keliling di kepalaku. Ingin membeli, tapi teringat untuk apa nanti aku pergunakan gilingan itu. Ingin mengajaknya makan tapi dia tidak mengenalku. Apa yang harus kulakukan? Seperti ilmu tarbiyah selama ini belum dapat kupraktikan, sedih rasanya tapi itulah hidup, dan ini adalah Jakarta, kota yang keras. Hingga aku berazzam jika suatu saat aku bertemu dengannya lagi, aku ingin melihat senyum di wajahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar