Mungkin kalian pernah mendengar kisah Lima Sekawan? Atau bahkan pernah membaca dan suka?
Kali ini bukan kisah Lima Sekawan yang ingin aku ceritakan, tapi kisahku sendiri bersama tiga orang temanku, yang akhirnya kuberi nama Empat Sekawan.
Dan inilah kisah kami, Kisah Empat Sekawan.
Kami bertemu di tempat ini sebuah pondok pesantren di sebuah desa di Sragen, aku, Septri, Indri, dan Fitri. Kami berempat berasal dari kampus yang sama, tapi dari kota yang berbeda-beda. Aku dari Medan, Septri dari Padang, Indri dari Temanggung, dan Fitri dari Jombang. Aku sudah kenal dengan Septri dan Indri tapi dengan Fitri baru bertemu di pondok pesantren.
Meskipun kami hanya berempat, kami bersyukur bisa bertemu dan berkumpul disini.
Setiap pukul 03.00 pagi kami bangun dan bersiap untuk sholat malam. Setelah adzan Subuh terdengar, kami bersiap menuju ke masjid yang letaknya di atas. Jadi kami harus sedikit mendaki kesana karena tempat kami tinggal berada di bawah. Kira-kira ada 40 derajat kemiringannya. Cukup melelahkan, dan ketika kami sampai di masjid, keringat sudah membasahi badan.
Ada sebuah jalan lagi ke atas, tapi kemiringannya sampai 45 derajat dan kami tidak pernah melewati jalan itu kecuali kalau kami pulang. Pernah waktu itu kami pertama kali melewati jalan itu dan kami sempat terperangah melihatnya. Indri dan Septri waktu itu yang sangat gembira sampai-sampai mereka lari dan akhirnya tidak bisa berhenti sebelum sampai ke bawah, sedangkan aku dan Fitri berjalan perlahan.
Sehabis sholat Subuh, kami memulai dars. Biasanya ustad yang mengimami sholat Subuh, kemudian beliau memberi sedikit kultum tentang tafsir Al Quran, setelah itulah barulah kami belajar.
Metode belajar kami tidak biasa. Kami disini dari awal diprogram untuk belajar bahasa Arab. Ustad kami bernama Ustad Tohir. Beliau punya metode tersendiri dalam mengajar yang diberi nama metode Tohirriyah. Kami diwajibkan menghafal rumus-rumus dalam ilmu shorrof dan ilmu nahwu terlebih dahulu yang telah disusunnya dengan rapi dan mudah diingat. Beliau juga membuat satu buku seperti makalah yang digunakan untuk mengajarkan kami. Setiap orang harus mengulangi hafalannya setiap kali bertemu sehingga kami sering mendengar dan kamipun cepat menghafalnya.
Awalnya Indri dan Fitri tentu saja kesulitan dalam mengikuti metode ini. Aku dan Septri sebelumnya sudah pernah diajar oleh Ustad Tohir sehingga materi yang kami pelajari hanya seperti mengulang dan tentu saja ada tambahan ilmu lainnya.
Asyiknya, kami berempat saling membantu. Jadi ketika ada yang tidak paham, yang pahamlah yang akan menjelaskan, terutama Septri, karena di kursus sebelumnya dialah yang menjadi peserta terbaik dari yang akhwat.
Itulah kisah pembuka dari kisah empat sekawan ini. Mau dengar kisah-kisah selanjutnya? Insya allah nanti menyusul..
Ada sebuah jalan lagi ke atas, tapi kemiringannya sampai 45 derajat dan kami tidak pernah melewati jalan itu kecuali kalau kami pulang. Pernah waktu itu kami pertama kali melewati jalan itu dan kami sempat terperangah melihatnya. Indri dan Septri waktu itu yang sangat gembira sampai-sampai mereka lari dan akhirnya tidak bisa berhenti sebelum sampai ke bawah, sedangkan aku dan Fitri berjalan perlahan.
Sehabis sholat Subuh, kami memulai dars. Biasanya ustad yang mengimami sholat Subuh, kemudian beliau memberi sedikit kultum tentang tafsir Al Quran, setelah itulah barulah kami belajar.
Metode belajar kami tidak biasa. Kami disini dari awal diprogram untuk belajar bahasa Arab. Ustad kami bernama Ustad Tohir. Beliau punya metode tersendiri dalam mengajar yang diberi nama metode Tohirriyah. Kami diwajibkan menghafal rumus-rumus dalam ilmu shorrof dan ilmu nahwu terlebih dahulu yang telah disusunnya dengan rapi dan mudah diingat. Beliau juga membuat satu buku seperti makalah yang digunakan untuk mengajarkan kami. Setiap orang harus mengulangi hafalannya setiap kali bertemu sehingga kami sering mendengar dan kamipun cepat menghafalnya.
Awalnya Indri dan Fitri tentu saja kesulitan dalam mengikuti metode ini. Aku dan Septri sebelumnya sudah pernah diajar oleh Ustad Tohir sehingga materi yang kami pelajari hanya seperti mengulang dan tentu saja ada tambahan ilmu lainnya.
Asyiknya, kami berempat saling membantu. Jadi ketika ada yang tidak paham, yang pahamlah yang akan menjelaskan, terutama Septri, karena di kursus sebelumnya dialah yang menjadi peserta terbaik dari yang akhwat.
Itulah kisah pembuka dari kisah empat sekawan ini. Mau dengar kisah-kisah selanjutnya? Insya allah nanti menyusul..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar