Sering kita mendengar kata sawah tadah hujan. Namun yang sekarang dibicarakan bukanlah tentang sawah, melainkan rumah yang kami tempati selama di pondok pesantren.
Setiap kali hujan deras, pekerjaan kami adalah menguras air yang merembes masuk dari lantai rumah. Awalnya kami mengira air itu berasal dari atap genteng yang bocor. Ternyata asalnya bukan dari atap yang bocor ataupun "ketampon" melainkan air dari bawah lantai. Kemungkinan besar rumah yang kami tempati tidak dibangun dengan benar. Di bawahnya tidak dibuat jalur air. Selain itu tempat kami lebih rendah, sehingga semakin memperparah keadaan. Akhirnya kami harus selalu siaga jika hujan tiba.
Pernah saat itu selain banjir, lampu juga mati. Dengan bantuan senter sederhana dari hape, kami pun mulai menyeret air keluar dari rumah, mencegahnya agar tidak masuk ke dalam kamar. Peralatan yang kami gunakan pun tidak kalah sederhananya, hanya sapu lidi dan sapu pel. Terkadang kami bergantian dalam menggunakannya, dan ada pula yang menggunakan kain kemudian memerasnya sampai pernah mencapai 5 ember.
Banjir paling parah terjadi ketika saat itu hujan turun dari pukul 16.30 sampai pukul 22.00 WIB. Hujan turun sangat deras, sedangkan kami saat itu hanya bertiga karena teman kami ada yang sedang sakit. Air itu datang terus menerus meskipun kami sudah berusaha mengeluarkannya. Fitri kemudian kembali meneliti darimana asal air-air itu datang. Yang awalnya kami kira berasal dari bawah lantai ternyata berasal dari dinding yang memiliki retakan karena tidak sempurnanya saat penyelesaian bangunan rumah ini.
Akhirnya kami harus bergantian untuk sholat, karena jika ditinggal takutnya air akan masuk ke kamar kami karena pergerakan air sangat cepat, selain hujan yang sanagat deras, di luar rumah juga sudah banjir, tapi alhamdulillah saat itu tidak mati lampu. Untuk makan malam pun begitu, kami harus bergantian. Bisa dibayangkan capeknya dari pukul 17.00 s.d. 20.30 kami menguras air-air itu. Di saat itulah aku merasakan takut jika turun hujan untuk pertama kalinya.
Alhamdulillah mbah guru berkunjung ke rumah ini untuk mengecek temanku yang sakit dan kebetulan menemukan kami sedang bekerja keras menguras air. Mbah guru kemudian menyarankan kami untuk tidur di atas saja (di tempat asrama putri) tentu saja tidak ada dari kami berempat yang mau. Selain karena sudah malam, tentu saja kami tidak mau meninggalkan barang-barang kami, khawatir kalau banjir tetap berlangsung sedangkan yang tinggal di rumah bawah hanya dua orang.
Keesokan harinya bapak-bapak tukang diminta untuk menambal dinding yang retak sehingga tidak menimbulkan banjir lagi. Besar harapan agar tidak terjadi banjir lagi karena sungguh lelah jika tiap hujan deras kami harus menguras. Meskipun kami sadar kami tidak boleh mengeluh, karena bagaimanapun ini bagian dari perjuangan kami untuk belajar disini, tetap semangat! :)
Cerita bersambung lagi ke cerita selanjutnya ya, insya allah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar