Seorang gadis bernama Mutiara pergi ke rumah neneknya yang berada di sebuah pedesaan kecil di Jawa Tengah. Dia sendiri karena ibunya sedang sakit sedangkan ayahnya merawat ibunya .Dia datang ke rumah neneknya untuk menjemput sang nenek menjenguk sang ibu di Jakarta. Ibu Mutiara sekarang berumur 35 tahun. Seorang muslimah yang sangat hebat karena telah melawan penyakit yang dideritanya sejak ia masih berumur 20 tahun. Tapi apa penyakitnya? Dokter pun tidak mengetahui sakit yang dialami oleh ibu Mutiara. Namun, sang ibu tetap berprasangka baik kepada Allah.
Betapa tidak Ibu Mutiara dulunya adalah anak dari seorang ulama yang disegani di Magelang. Dia memiliki seorang abang dan seorang adik laki-laki juga. Kedua orang tua Ibu Mutiara sangat menyayangi ketiga anaknya terutama Ibu Mutiara karena dia anak perempuan satu-satunya. Dan orang tuanya tahu jelas akan hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah ra. :
"Barangsiapa yang diuji dengan sesuatu daripada anak-anak perempuannya, lalu dia berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya daripada api neraka".
Akan tetapi, walaupun mereka sangat menyayangi Ibu Mutiara, mereka tidak membeda-bedakan sikap dan kasih sayang kepada sang abang dan sang adik.
"Sama ratakan pemberianmu kepada anak-anakmu. Jika aku akan mengutamakan yang satu terhadap yang lain tentu aku akan mengutamakan pemberian kepada yang perempuan. (HR. Ath-Thabrani)"
Ibu Mutiara pun tumbuh di lingkungan yang sangat islami, oleh sebab itu Ibu Mutiara pribadinya sangat lembut, sholeha, dan penuh kasih sayang kepada sesama. Para warga disana sangat segan terhadap keluarga Ibu Mutiara. Namun, mereka tetaplah menjadi keluarga yang bersahaja. Saat umur Ibu Mutiara genap sepuluh tahun, sang ayahanda dipanggil Allah SWT. Adiknya berumur delapan tahun, sedangkan sang abang berumur lima belas tahun. Tidak ada yang menyangka sang ayah meninggal tanpa penyakit apapun di usianya yang hampir mencapai setengah abad. Sang ibunda tampak tegar karena sudah paham bahwa ajal memang bisa datang kapan saja.
Sang abang mendapatkan beasiswa ke Mesir saat berusia 20 tahun. Dia pun kemudian meninggalkan ibundanya, Ibu Mutiara dan adiknya. Ibunda saat itu berumur 48 tahun. Sepeninggal sang ayah, ibunda bekerja sebagai penjahit di rumahnya, walaupun penghasilannya tidak seberapa tapi alhamdulillah ketiga anaknya selalu berprestasi sehingga biaya untuk sekolah dapat berkurang. Selain itu, Ibunda juga mahir membuat kue sehingga selalu saja ada orderan kue oleh warga sekitar. Sungguh Allah Maha Pemberi Rezeki. Ibu Mutiara juga demikian di umurnya yang masih belia dia mampu membantu ibunya membuat kue kemudian menjajakannya di warung-warung dekat rumahnya.
Karena dari awal pribadi keluarga ini sangat baik maka banyak warga yang menyayangi mereka. Pernah suatu ketika Ibunda jatuh pingsan karena darah rendah, Ibu Mutiara yang masih berumur tujuh belas tahun saat itu tidak tahu harus bagaimana, namun alhamdulillah tetangga-tetangga datang untuk menolong ibunda dan membawa ke rumah sakit. Sang adik sendiri sangat patuh kepada ibunda dan kakak-kakaknya.
Delapan tahun kemudian, abang Ibu Mutiara telah mendapat pekerjaan yang baik di Mesir dan telah berkeluarga juga, namu tetap menyayangi keluarganya di Indonesia terutama sang ibunda yang kini sudah sakit-sakitan.
Dalam hadis yang diriwayatkan Aisyah ra.
"Aku bertanya kepada Rasulullah SAW, siapakah yang lebih besar haknya terhadap wanita? Jawab baginda, "Suaminya." "Siapa pula berhak terhadap pria?" tanya Aisyah kembali, Jawab Rasulullah "Ibunya".
Umur Ibu Mutiara sekarang adalah 25 tahun dan telah menyelesaikan kuliah S1 nya di Universitas Indonesia. Tak lama kemudian, Ibu Mutiara kemudian dikhitbah oleh Ayah Mutiara. Ayah Mutiara adalah seorang arsitek di Jakarta. Akhirnya mereka menikah kemudian menetap di Jakarta, sedangkan Ibunda tetap di Magelang tapi ditemani oleh sang adik.
Dua tahun pernikahan mereka, Ibu Mutiara hamil dan sembilan bulan kemudian melahirkan bayi mungil nan cantik yang diberi nama Mutiara Na'im. Namun ternyata Ibu Mutiara menderita kanker mulut rahim yang semakin hari semakin parah. Penyakit itu telah ada sejak Ibu Mutiara berumur 20 tahun dan tidak pernah diketahui hingga akhirnya memiliki Mutiara. Walaupun begitu alhamdulillah Mutiara bisa lahir dengan selamat.
Padahal dokter telah memvonis bahwa Ibu Mutiara akan meniggal jika tetap mempertahankan Mutiara di dalam rahimnya. Tapi subhanallah keyakinan kuat yang dimiliki Ibu Mutiara membuatnya kuat menanggung semua risikonya. Antara hidup dan mati Ibu Mutiara berjuang sambil mengucap tasbih, Ibu Mutiara tidak mau dibius karena menurutnya hal itu akan membuatnya lupa kepada sang Pencipta. Pertarungan yang hebat ini berlangsung selama lima jam. Ayah Mutiara, Ibunda dan sang adik terus mengucap doa kepada-Nya agar Ibu Mutiara diberi kemudahan dalam melahirkan Mujahidah muda ke dunia. Penantian dan doa-doa itu akhirnya diijabah Allah, Ibu Mutiara dan Mutiara selamat.
Namun ternyata perjuangan belum berakhir, Mutiara mengalami kelainan dalam lambungnya. Akhirnya dia harus terlebih dahulu dimasukkan ke tabung inkubator untuk dirawat lebih intensif. Ibu Mutiara sangat sedih dan merasa bersalah, tapi kemudian Ibunda menghibur Ibu Mutiara dan berkata bahwa tidak ada yang perlu disesalkan karena ini bagian dari ujian dari Allah. "Astaghfirullah, saya khilaf bu" kata Ibu Mutiara yang kemudian beristighfar dan tersadar kembali bahwa selama ini iya hanya percaya kepada kuasa Allah dan masih bisa bertahan tentu saja Mutiara juga akan sehat.
Setelah sebulan Ibu Mutiara dan Mutiara diperbolehkan pulang. Ibu dan Ayah Mutiara sangat menyayanginya. Mereka sadar kecil kemungkinan untuk dapat memiliki anak lagi. Tapi tetap mereka adalah contoh sosok orang tua yang selalu berprasangka baik kepada Allah.
Imam Ahlubait yang ke-4 berpesan, "Adalah hak ibumu agar engkau mengingatnya bahwa ia telah mengandungmu dalam rahimnya selama berbulan-bulan. Memeliharamu dengan sari hidupnya. Mengerahkan semua yang ada padanya untuk memelihara dan melindungimu. Ia tidak mempedulikan rasa laparnya, sedangkan engaku diberinya makan sepuas-puasnya. Ia mengalami rasa haus sementara dahagamu dipuaskan. Ia mungkin tak berpakaian, tapi engkau diberinya baju yang baik-baik. Ia mungkin berdiri di panas terik matahari, sementar engkau berteduh. Ia meninggalkan tidurnya yang enak demi tidurmu yang pulas. Ia melindungimu dari panas dan dingin. Ia menanggung semua kesusahan itu demi engkau! Maka engkau layak untuk mengetahui bahwa engkau tidak akan mampu bersyukur kepada ibumu secara pantas, kecuali Allah menolongmu dan memberikan keridhaan untuk membalas budinya."
Waktu terus berlalu, Mutiara kecil sekarang sudah berumur tujuh tahun usia yang cukup untuk masuk sekolah. Dilahirkan dari ibu yang soleha, Mutiara pun tumbuh mewarisi sifat ibunya. Ia sangat sayang kepada sang ibu. Ibu Mutiara pun demikian bahkan mungkin lebih besar cintanya kepada Mutiara dibandingkan dirinay sendiri. Itulah ibu. Di kala Mutiara sakit, Ibu Mutiara rela tidak tidur demi menjaga kenyamanan Mutiara dan merawatnya. Meskipun saat itu Ibu Mutiara juga tengah menahan sakit yang semakin melemahkan tubuhnya. Tapi keyakinannya terhadap mukjizat Allah tidak pernah berkurang 0,1 persen pun.
Layaknya Siti Hajar yang ketakutan ketika ditinggal Ibrahim di padang pasir yang gersang dan tidak ada air. Ismail menangis dengan kencang karena kehausan. Air susu Siti Hajar tidak mengeluarkan airnya sehingga Siti Hajar mulai panik dan berlari dari bukit Shafa ke bukit Marwah sebanyak tujuh kali untuk memeriksa apakah ada kabilah yang lewat dan membawa bantuan. Tapi apa yang menyebabkan Siti Hajar tidak lelah berusaha? Itu karena keyakinannya kepada Allah, bahwa Allah akan selalu menolongnya jika ia selalu berprasangka baik kepada-Nya. Lalu Allah mengeluarkan air dari hentakan kaki Ismail dan akhirnya menjadi air abadi yang dikenal sebagai air zam-zam.
Ibu Mutiara mengilhami kisah Siti Hajar ini dan menerapkan dalam kehidupannya.
Di dalam kesehariannya Ibu Mutiara menjalankan aktifitasnya sebagai ibu rumah tangga dan melayani pesanan kue juga seperti yang selalu ia lakukan bersama ibunda. Di ulang tahunnya yang ke-9, Ibu Mutiara menyiapkan kue ulang tahun yang sangat enak sehingga Mutiara sangat senang kemudian mencium pipi sang ibu. Ayah Mutiara membelikannya Al-Quran yang sangat indah berwarna hijau. Mutiara senang dengan warna hijau.
Mutiara saat itu berumur dua belas tahun ketika sang ibu mengalami pendarahan yang hebat sehingga harus dibawa ke rumah sakit. Mutiara sangat takut tapi juga bingung apa yang harus ia lakukan. Dengan keberanian dia berkata kepada ayahnya untuk menjemput sang nenek karena hanya sang nenek yang dapat menenangkan ibunya. Walaupun dengan berat hati dan khawatir akhirnya Ayah Mutiara mengijinkannya. Ayahnya percaya dengan kemampuan Mutiara karena dia adalah anak yang mandiri semenjak umurnya enam tahun dan Allah pasti akan menjaganya.
Dengan doa dan keyakinan yang kuat Mutiara berpetualang sendiri ke Magelang tempat neneknya berada. Sesampainya disana, Mutiara langsung memeluk neneknya dan menangis, mengatakan ibunya sedang dalam keadaan kritis. Ibunda pun ikut menangis kemudian langsung bergegas menuju Jakarta, abang dan adik Ibu Mutiara pun bergegas menuju rumah sakit tempat Ibu Mutiara dirawat.
Ibu Mutiara masih cantik seperti biasa, karena sinar dari air wudhu yang tidak pernah ia tinggalkan. Mutiara terus menangis di samping ibunya. Sang nenek pun hanya bisa berdoa dan ikhlas dengan kondisi putri semata wayangnya.
Kalimat-kalimat tasbih, terus mengalir dari bibirnya yang mulai pucat. Dokter menyarankan agar Ibu Mutiara segera dioperasi. Lalu dengan tangis yang tak henti, Mutiara berkata "Bunda, Muti sayang Bunda tapi pasti Allah lebih sayang sama Bunda, pasti Allah akan selalu melindungi dan menyehatkan Bunda, Bunda harus kuat ya... Muti disini juga akan kuat dan terus mendoakan Bunda" isakan Mutiara saat itu dan kata-kata yang diucapkannya pasti akan menyentuh hati siapa saja yang mendengarnya. "Iya Muti, Bunda juga sayang Muti apapun yang terjadi tetap percaya ya kalau Allah sayang sama kita" jawaban Ibu Mutiara dengan suara yang melemah.
Dokter telah bicara dengan Ayah Mutiara dan nenek, kemungkinan operasi berhasil adalah 10% saja, tapi tidak menutup kemungkinan mukjizat akan datang. Dokter pun kemudian memulai operasi Ibu Mutiara. Di luar ruang operasi, Mutiara, sang ayah dan keluarga terus melantunkan ayat-ayat suci Quran seraya berdoa memohon kelancaran operasi dan kesembuhan Ibu Mutiara.
Sholat sunah hajat pun dilakukan Mutiara, karena ia yakin Allah sayang kepada Ibunya dan akan menyembuhkannya.
Setelah lima jam, operasi selesai dan dokter keluar dari ruang operasi. Dengan perasaan yang campur aduk Ayah Mutiara langsung bertanya kepada dokter, tentang keadaan Ibu Mutiara. Namun dokter tidak berkata apa-apa hanya berbisik kepada sang ayah. Perasaan Mutiara mulai tidak enak, dia langsung berlari menuju ruang operasi. Tidak ada yang menahannya bahkan suster pun tidak tega melarangnya. Sesampainya di ruang operasi, dia melihat sang ibu terkulai lemas, tak berdaya, namun menyadari kedatangan anaknya.
"Bunda... bunda.... bunda..." panggil Mutiara dengan isakan tangis. "Iya bidadariku... bunda disini, Allah masih sayang dengan bunda kan.. buktinya kita masih bisa ngobrol" jawab sang ibu dengan tersenyum berusaha menghibur Mutiara. "Bunda, Muti sayang bunda, bunda jangan pergi ya.." pinta Muti sambil memeluk bundanya. "Bunda tidak akan kemana-mana Muti, bunda akan selalu ada di hati Muti, bunda tidak akan meninggalkanmu sayang.. " jawab bunda menahan tangis.
Di luar sang ayah dan nenek serta abang dan adiknya mentitikkan air mata melihat kejadian itu. Tak ada yang bersuara hanya suara tetesan air mata yang jatuh ke baju-baju yang memang sudah basah oleh air mata dari tadi. Lalu Ibu Mutiara memanggil Ayah Mutiara, meminta ayah menjaga dan mendidik Mutiara sehingga menjadi Mujahidah yang berguna bagi agama dan bangsa ini. Ibu Mutiara tak lupa pula memohon maaf kepada Ibunda, nenek Mutiara karena belum dapat menjadi anak yang berbakti dan belum dapat menyenangkannya. Lalu berbicara dengan abang dan adiknya berpesan agar selalu menjaga Ibunda.
Ibu Mutiara ingin sebelum dia dipanggil, dia dalam keadaan berwudhu, akhirnya Ayah Mutiara me-wudhukan istrinya, lalu ia mengucap dua kalimat syahadat kemudian kembali kepada Allah SWT.
Ada senyuman di wajah Ibu, menandakan ia benar-benar telah siap dipanggil kembali dan Allah memang sayang kepadanya. Ibu Mutiara dianugrahkan keluarga yang taat kepada Allah dan putri semata wayangnya yang juga soleha. Tidak ada kata-kata sedih yang diucapkannya. Hanya ucapan kesyukuran atas semua karunia yang diberikan-Nya.
Di dalam kesehariannya Ibu Mutiara menjalankan aktifitasnya sebagai ibu rumah tangga dan melayani pesanan kue juga seperti yang selalu ia lakukan bersama ibunda. Di ulang tahunnya yang ke-9, Ibu Mutiara menyiapkan kue ulang tahun yang sangat enak sehingga Mutiara sangat senang kemudian mencium pipi sang ibu. Ayah Mutiara membelikannya Al-Quran yang sangat indah berwarna hijau. Mutiara senang dengan warna hijau.
Mutiara saat itu berumur dua belas tahun ketika sang ibu mengalami pendarahan yang hebat sehingga harus dibawa ke rumah sakit. Mutiara sangat takut tapi juga bingung apa yang harus ia lakukan. Dengan keberanian dia berkata kepada ayahnya untuk menjemput sang nenek karena hanya sang nenek yang dapat menenangkan ibunya. Walaupun dengan berat hati dan khawatir akhirnya Ayah Mutiara mengijinkannya. Ayahnya percaya dengan kemampuan Mutiara karena dia adalah anak yang mandiri semenjak umurnya enam tahun dan Allah pasti akan menjaganya.
Dengan doa dan keyakinan yang kuat Mutiara berpetualang sendiri ke Magelang tempat neneknya berada. Sesampainya disana, Mutiara langsung memeluk neneknya dan menangis, mengatakan ibunya sedang dalam keadaan kritis. Ibunda pun ikut menangis kemudian langsung bergegas menuju Jakarta, abang dan adik Ibu Mutiara pun bergegas menuju rumah sakit tempat Ibu Mutiara dirawat.
Ibu Mutiara masih cantik seperti biasa, karena sinar dari air wudhu yang tidak pernah ia tinggalkan. Mutiara terus menangis di samping ibunya. Sang nenek pun hanya bisa berdoa dan ikhlas dengan kondisi putri semata wayangnya.
Kalimat-kalimat tasbih, terus mengalir dari bibirnya yang mulai pucat. Dokter menyarankan agar Ibu Mutiara segera dioperasi. Lalu dengan tangis yang tak henti, Mutiara berkata "Bunda, Muti sayang Bunda tapi pasti Allah lebih sayang sama Bunda, pasti Allah akan selalu melindungi dan menyehatkan Bunda, Bunda harus kuat ya... Muti disini juga akan kuat dan terus mendoakan Bunda" isakan Mutiara saat itu dan kata-kata yang diucapkannya pasti akan menyentuh hati siapa saja yang mendengarnya. "Iya Muti, Bunda juga sayang Muti apapun yang terjadi tetap percaya ya kalau Allah sayang sama kita" jawaban Ibu Mutiara dengan suara yang melemah.
Dokter telah bicara dengan Ayah Mutiara dan nenek, kemungkinan operasi berhasil adalah 10% saja, tapi tidak menutup kemungkinan mukjizat akan datang. Dokter pun kemudian memulai operasi Ibu Mutiara. Di luar ruang operasi, Mutiara, sang ayah dan keluarga terus melantunkan ayat-ayat suci Quran seraya berdoa memohon kelancaran operasi dan kesembuhan Ibu Mutiara.
Sholat sunah hajat pun dilakukan Mutiara, karena ia yakin Allah sayang kepada Ibunya dan akan menyembuhkannya.
Setelah lima jam, operasi selesai dan dokter keluar dari ruang operasi. Dengan perasaan yang campur aduk Ayah Mutiara langsung bertanya kepada dokter, tentang keadaan Ibu Mutiara. Namun dokter tidak berkata apa-apa hanya berbisik kepada sang ayah. Perasaan Mutiara mulai tidak enak, dia langsung berlari menuju ruang operasi. Tidak ada yang menahannya bahkan suster pun tidak tega melarangnya. Sesampainya di ruang operasi, dia melihat sang ibu terkulai lemas, tak berdaya, namun menyadari kedatangan anaknya.
"Bunda... bunda.... bunda..." panggil Mutiara dengan isakan tangis. "Iya bidadariku... bunda disini, Allah masih sayang dengan bunda kan.. buktinya kita masih bisa ngobrol" jawab sang ibu dengan tersenyum berusaha menghibur Mutiara. "Bunda, Muti sayang bunda, bunda jangan pergi ya.." pinta Muti sambil memeluk bundanya. "Bunda tidak akan kemana-mana Muti, bunda akan selalu ada di hati Muti, bunda tidak akan meninggalkanmu sayang.. " jawab bunda menahan tangis.
Di luar sang ayah dan nenek serta abang dan adiknya mentitikkan air mata melihat kejadian itu. Tak ada yang bersuara hanya suara tetesan air mata yang jatuh ke baju-baju yang memang sudah basah oleh air mata dari tadi. Lalu Ibu Mutiara memanggil Ayah Mutiara, meminta ayah menjaga dan mendidik Mutiara sehingga menjadi Mujahidah yang berguna bagi agama dan bangsa ini. Ibu Mutiara tak lupa pula memohon maaf kepada Ibunda, nenek Mutiara karena belum dapat menjadi anak yang berbakti dan belum dapat menyenangkannya. Lalu berbicara dengan abang dan adiknya berpesan agar selalu menjaga Ibunda.
Ibu Mutiara ingin sebelum dia dipanggil, dia dalam keadaan berwudhu, akhirnya Ayah Mutiara me-wudhukan istrinya, lalu ia mengucap dua kalimat syahadat kemudian kembali kepada Allah SWT.
Ada senyuman di wajah Ibu, menandakan ia benar-benar telah siap dipanggil kembali dan Allah memang sayang kepadanya. Ibu Mutiara dianugrahkan keluarga yang taat kepada Allah dan putri semata wayangnya yang juga soleha. Tidak ada kata-kata sedih yang diucapkannya. Hanya ucapan kesyukuran atas semua karunia yang diberikan-Nya.
Itulah Ibu yang tidak pernah mentuntut balasan atas pengorbanan yang ia lakukan. Kasih sayangnya sepanjang jalan, cintanya kepada anak melebihi cintanya kepada dirinya sendiri. Ia selalu bersyukur dan berdoa yang terbaik untuk anak dan keluarganya.