Setiap malamku ibu selalu ada
dalam mimpi-mimpiku. Kasihnya yang tulus dan pelukannya yang menghangatkan tak
pernah lekang dari hatiku. Tak diragukan lagi aku benar-benar menyayanginya.
Teringat akan kejadian dua puluh tahun yang lalu ketika aku ditelantarkan oleh
ibu kandungku di depan sebuah masjid kecil di sebuah desa kecil perbatasan Aceh dan Sumatera Utara.
Waktu itu umurku tiga tahun, badanku sangat panas karena sudah dua jam aku
kehujanan di dinginnya malam. Lalu tiba-tiba sosok itu datang, seorang waninta
yang sekarang ini aku panggil ibu.
“Ali, bagaimana sekolahmu tadi
nak?”,Tanya ibu padaku
“Alhamdulillah bu, tadi Ali
mendapat urutan pertama dalam lomba lari antar kelas..” jawabku senang.
Lalu seperti biasa, ibu langsung
memelukku, menciumku, seraya berdoa agar hidupku selalu dilimpahi keberkahan.
Begitulah keseharianku semasa aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Namun
semua berubah seketika saat aku berumur 15 tahun, aku mendapat beasiswa
melanjutkan sekolahku ke luar kota tepatnya di SMAN3 Padmanaba Yogyakarta.
“Nak, kamu benar-benar harus
pergi ya?” Tanya ibuku sedih
“Iya bu, lumayan bu ini
sekolahnya gratis karena beasiswa kan? Jadi ibu gak perlu terlalu lelah bekerja
lagi karena Ali akan berusaha mempertahankan dan meningkatkan prestasi Ali
disana. Ini juga salah satu jalan untuk menggapai cita-cita Ali bu. Ibu tidak
perlu khawatir, Ali akan selalu menghubungi ibu atau ibu juga bisa menghubungi
Ali kapan saja”. Aku mencoba menghibur ibuku yang kutahu sangat sedih melepaskan
kepergianku. Sebenarnya aku juga tidak tega meninggalkan ibu sendirian. Beliau
sudah semakin tua, umurnya saja sudah hampir mencapai setengah abad. Tubuhnya
yang dulu sangat sehat, sekarang sudah semakin lemah. Penglihatannya juga sudah
mulai rabun.
Akhirnya aku pun pergi meninggalkan ibu, tapi syukur alhamdulillah para tetanggaku bersedia menjaganya dan senantiasa mengunjunginya. Di umurku yang bisa dibilang masih seumur jagung, berat rasanya untuk mulai hidup mandiri, Ibu tahu itu, dia pun membawakanku bekal makanan seminggu dan uang untuk hidupku disana. Walaupun aku menolak karena di sana nanti aku akan tinggal di asrama dan sudah pasti kebutuhan akan makanan akan juga dijamin, tapi ibu tetap memaksaku. Ibu teringat akan keponakannya yang mengalami nasib tragis karena di tempat perantauannya dia malah meninggal dunia akibat kekurangan makanan.
Waktu pun terus berlalu, karena kondisi keuangan yang terbatas, aku hanya pulang setahun sekali kalau hari lebaran tiba. Sampai suatu ketika, tetanggaku menelponku.. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar